wanita dan karir


28 Februari 2010

Beberapa hari yang lalu saya datang ke acara pengukuhan guru besar seorang dosen di fakultas saya. Beliau adalah seseorang yang sangat luar biasa, meraih gelar doktor pada usia yang sangat muda, dan diangkat menjadi professor di awal empat puluhan. Belum lagi beliau adalah seorang wanita, muslim, sudah menikah dan punya tiga orang anak.

Kurang apalagi coba?

Kebahagiaan memang tidak bisa diukur. Tidak dengan jabatan, tidak dengan kekuasaan, apalagi dengan uang.

Mungkin begitu juga dengan beliau. Beliau, yang di tengah pidato pengukuhannya, meneteskan air mata saat mengucapkan terimakasih kepada almarhum ayahandanya.

Tapi bukan itu yang menarik perhatian saya. Yang menarik perhatian saya adalah, saat beliau mengucapkan rasa terima kasihnya kepada suaminya, yang diucapkan hingga dua kali oleh beliau. Yang pertama memang tertulis di buku pidato pengukuhan guru besarnya, hanya saja yang kedua....

“kepada suamiku tercinta, mohon maaf atas segala kesalahanku selama ini, semoga engkau terus berkenan membimbingku ,menerimaku, menemaniku hingga akhir perjalanan hidupku...”

(--maaf agak diedit karena penulis tidak ingat dengan sempurna)

Saya ingin menangis. Saya ingin menangis karena, entah mengapa saya merasa, dibalik segala pencapaian karir yang telah beliau peroleh, segala penelitian yang telah beliau selesaikan, ternyata beliau hanyalah seorang—wanita—biasa. Beliau adalah seorang istri, ibu dari tiga orang anak. Yang harus melayani suami dan mengurus anak-anaknya. Bukannya bagaimana sih, tapi ntah bagaimana sepertinya saya mengetahui, beban yang beliau tanggung.

Karena sesulit apapun di tempat kerja, selalu ada anak-anak yang menelpon minta diperhatikan.

Secapek apapun dari tempat kerja, akan selalu ada suami yang minta disiapkan teh di sore hari.

Dan sesukses apapun karir di tempat kerja, saat keluarga sedang ada masalah, terutama dengan anak-anak, ibu lah yang akan disalahkan.

Menjadi wanita, berkarir dan berkeluarga, tidak akan pernah mudah.

Saya ingat seorang ibu mengomentari ibu lainnya, “ih kok anaknya nggak rangking ya di kelas, padahal ibu bapaknya sarjana, S2 lagi.”

Oh, Tuhan.

the break-up


Sejujurnya, saya masih ingin menangis. Di depan orang lain saya pura-pura kuat, pura-pura tegar. Tidak akan saya biarkan air mata ini jatuh dengan orang lain melihatnya.

Perpisahan tidak pernah mudah. Berpisah dengan orang yang sangat kamu cintai seumur hidupmu, itu lebih sulit lagi.

Iyuh. Bicara apa tadi saya? Cinta?

Yang benar saja, seperti abege saja saya. Cuih cuih.

Tapi, memang begitulah adanya.

Akhirnya saya putus cinta (cuih lagi), berpisah dari orang yang saya sayangi.

Kata dia, “Bahwa cinta itu bukan perekat. Ego lah yang merekatkan, dan asas kebutuhan yang menyatukan”

Sakit hati saya membacanya. Meski tidak sepenuhnya salah.

Sering saya berpikir, apa saya yang payah? Sampai-sampai menyerah kepada keadaan? Apa saya sebegitu lemahnya?

Saya menyemangati diri saya.

Saya katakan, tidak, saya tidak payah.

Dua setengah tahun bertahan menjalani hubungan jarak jauh itu tidak payah.

Tidak selingkuh selama dua setengah tahun di hubungan jarak jauh itu tidak payah.

Bisa menahan diri dari segala perlakuan yang menakutkan, perkataan yang menyinggung, selama dua setengah tahun, itu tidak payah.

Tolong, jangan katakan saya minta dikasihani. Karena memang bukan begitu adanya.

Saya hanya sudah mencapai batas kemampuan saya.

Bukan berarti saya tidak lagi mencintainya. Justru sebaliknya, sangat. Hanya saja saya tidak lagi sanggup menanggung konsekuensinya.

True love’s just never been easy.

Dan saya menyerah. Karena saya manusia, bukan Tuhan. Dengan segala ketidaksempurnaan saya.

.....

Dulu, kita bisa bicara harga minyak mentah dunia.

Tapi sekarang, kita bertengkar hanya karena aku suka membaca novel tetapi kamu tidak.

Jujur, saya sering berharap bisa kembali. Tapi terkadang ada banyak hal yang jika sudah terjadi, maka ia tidak bisa ditarik kembali.