the break-up


Sejujurnya, saya masih ingin menangis. Di depan orang lain saya pura-pura kuat, pura-pura tegar. Tidak akan saya biarkan air mata ini jatuh dengan orang lain melihatnya.

Perpisahan tidak pernah mudah. Berpisah dengan orang yang sangat kamu cintai seumur hidupmu, itu lebih sulit lagi.

Iyuh. Bicara apa tadi saya? Cinta?

Yang benar saja, seperti abege saja saya. Cuih cuih.

Tapi, memang begitulah adanya.

Akhirnya saya putus cinta (cuih lagi), berpisah dari orang yang saya sayangi.

Kata dia, “Bahwa cinta itu bukan perekat. Ego lah yang merekatkan, dan asas kebutuhan yang menyatukan”

Sakit hati saya membacanya. Meski tidak sepenuhnya salah.

Sering saya berpikir, apa saya yang payah? Sampai-sampai menyerah kepada keadaan? Apa saya sebegitu lemahnya?

Saya menyemangati diri saya.

Saya katakan, tidak, saya tidak payah.

Dua setengah tahun bertahan menjalani hubungan jarak jauh itu tidak payah.

Tidak selingkuh selama dua setengah tahun di hubungan jarak jauh itu tidak payah.

Bisa menahan diri dari segala perlakuan yang menakutkan, perkataan yang menyinggung, selama dua setengah tahun, itu tidak payah.

Tolong, jangan katakan saya minta dikasihani. Karena memang bukan begitu adanya.

Saya hanya sudah mencapai batas kemampuan saya.

Bukan berarti saya tidak lagi mencintainya. Justru sebaliknya, sangat. Hanya saja saya tidak lagi sanggup menanggung konsekuensinya.

True love’s just never been easy.

Dan saya menyerah. Karena saya manusia, bukan Tuhan. Dengan segala ketidaksempurnaan saya.

.....

Dulu, kita bisa bicara harga minyak mentah dunia.

Tapi sekarang, kita bertengkar hanya karena aku suka membaca novel tetapi kamu tidak.

Jujur, saya sering berharap bisa kembali. Tapi terkadang ada banyak hal yang jika sudah terjadi, maka ia tidak bisa ditarik kembali.



0 Response to "the break-up"

Posting Komentar